Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 11]
Sabtu, 2 Desember 2017

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas kandungan pelajaran dari ayat ke-36 dari surat an-Nisaa’ yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam Kitab Tauhidnya. Yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan beribadahlah kepada Allah, serta janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.”

Di dalam ayat ini terkandung perintah dan larangan. Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar maka tauhid merupakan kewajiban yang paling wajib. Oleh sebab itu perintah bertauhid ini disebutkan sebelum perintah-perintah yang lainnya. Tauhid merupakan pondasi di dalam agama Islam; karena ia merupakan kandungan dari dua kalimat syahadat.

Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita tidak beribadah kecuali kepada Allah, sementara syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu materi dakwah pertama dan paling penting adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana ia menjadi prioritas dakwah para rasul dan pengikut mereka, maka ia juga menjadi muatan pokok kitab-kitab yang Allah turunkan.

Tauhid inilah pokok di dalam keimanan. Iman kepada Allah mencakup iman kepada rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Tauhid kepada Allah merupakan perwujudan iman kepada Allah dalam ketiga hal itu. Dan yang paling pokok dari ketiganya adalah tauhid uluhiyah; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah. Beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik. Setiap muslim wajib mengingkari syirik dan menujukan ibadahnya kepada Allah semata.

Tauhid ini pula syarat diterimanya seluruh amalan. Tidak akan diterima amal apapun tanpa tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Oleh sebab itu termasuk kekeliruan dalam hal dakwah ketika yang diprioritaskan atau didahulukan adalah materi-materi lain yang berada di bawah tingkatan tauhid. Setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk bertauhid dan menjadikan dakwah tauhid sebagai materi utama dakwahnya, demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dakwah tauhid merupakan sumber kebahagiaan dan perbaikan umat. Hanya dengan tauhid inilah manusia bisa menerima syari’at dan hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu sangat keliru apabila ada orang yang mengira bahwa dakwah tauhid tidak sesuai dengan perkembangan jaman, atau mengira bahwa dakwah tauhid akan memecah belah umat dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.

Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia. Ilmu yang paling tinggi kedudukannya. Ilmu yang paling agung permasalahannya. Kebutuhan hamba kepada ilmu ini di atas segala kebutuhan. Keterdesakan dirinya kepada ilmu ini di atas segala perkara yang mendesak. Karena sesungguhnya tidak ada kehidupan bagi hati, tidak ada kenikmatan dan ketentraman kecuali dengan mengenal Rabbnya, sesembahan, dan pencipta dirinya melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya (lihat keterangan Syaikh Muhammad Sayyid Ahmad dalam al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 5)

Sesungguhnya memperhatikan tauhid termasuk urusan yang paling penting, sebab dengan mengenal tauhid inilah hati menjadi lapang. Karena dakwah segenap rasul berporos pada ajaran ini. Apabila kedudukan tauhid sedemikian mulia maka memahami dan mendakwahkan tauhid merupakan kewajiban yang paling utama berdasarkan dalil aqli maupun syar’i, sebab semua amalan -baik pokok ataupun cabang-cabangnya- berporos pada tauhid (lihat Fath al-Hamid fi Syarh at-Tauhid, hal. 5)

Keharaman Yang Paling Besar

Dalam kesempatan ini kita akan melanjutkan memetik pelajaran dari ayat berikutnya yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah akan aku bacakan kepada kalian apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian, hendaklah kalian tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun…” (al-An’aam : 151 – 153)

Ayat ini memberikan peringatan keras dari syirik dengan segala bentuk dan variasinya (lihat Al-Jadid fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 30)

Ayat ini menunjukkan bahwa syirik adalah keharaman yang paling besar, larangan yang paling besar, kemaksiatan terbesar dan dosa besar yang paling besar. Hakikat syirik itu adalah beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya. Apapun atau siapapun yang disembah selain Allah itu, maka itu termasuk perbuatan syirik. Semua bentuk syirik adalah diharamkan, baik syirik besar maupun syirik kecil, baik yang tampak maupun yang samar atau tersembunyi di dalam hati (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab At-Tauhid, 1/41-42)

Ayat ini berisi larangan berbuat syirik, dan hal itu memberikan konsekuensi perintah bertauhid. Hal ini menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib dan syirik adalah keharaman terbesar. Dimana Allah mengawali penyebutan hal-hal yang diharamkan itu dengan syirik (lihat Hasyiyah Kitab At-Tauhid oleh Syaikh Abdurrahman bin Qasim, hal. 16)

Kemudian, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan atsar/riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat wasiat yang dibubuhi cap Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaklah dia membaca firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah, akan aku bacakan kepada kalian apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian kepada kalian; yaitu janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” hingga firman-Nya, “Dan bahwasanya -yang Kami perintahkan- inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia…” sampai akhir ayat (Al-An’am : 151 – 153).”

Yang dimaksud oleh perkataan Ibnu Mas’ud ini adalah wasiat yang seolah-olah tertulis dan diberi stempel/cap lalu dilipat/disimpan sehingga tidak akan diubah dan diganti. Jadi, bukanlah maksud ucapan beliau di atas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis wasiat ini dan memberikan stempel atasnya (lihat Ibthal At-Tandid oleh Syaikh Hamad bin ‘Atiq, hal. 22)

Ibnu Mas’ud memandang bahwa ayat-ayat tersebut -dalam surat Al-An’am : 151-153- telah mencakup seluruh ajaran agama, sehingga seolah-olah itu merupakan wasiat yang telah diberi stempel oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tinggalkan untuk umat. Demikian faidah dari keterangan Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah (lihat Al-Qaul Al-Mufid, 1/23)

Di dalam surat Al-An’am 151 – 153 ini terkandung sepuluh wasiat yang isinya adalah :

[1] Larangan berbuat syirik
[2] Berbuat baik kepada kedua orang tua
[3] Larangan membunuh anak dengan alasan takut miskin
[4] Larangan mendekati perbuatan keji yang tampak maupun tersembunyi
[5] Larangan membunuh jiwa yang diharamkan dibunuh
[6] Larangan mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik
[7] Perintah menyempurnakan takaran dan timbangan
[8] Perintah berkata-kata/bersaksi dengan adil, meskipun kepada orang yang dekat/kerabat
[9] Perintah memenuhi ikatan perjanjian dengan Allah
[10] Perintah mengikuti jalan lurus dan larangan mengikuti jalan-jalan lain

(lihat Al-Mulakhash fi Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 17-18)

Ibnu Mas’ud membawakan ucapan di atas karena Ibnu Abbas mengatakan, “Sesungguhnya kerugian sebenar-benar kerugian adalah kejadian yang membuat kita terhalang untuk mendapatkan wasiat yang hendak ditulis oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu Mas’ud ingin mengingatkan para sahabat bahwa seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis wasiat maka tidaklah beliau wasiatkan selain apa-apa yang termaktub di dalam Kitabullah. Sebagaimana Allah menjadikan ayat-ayat di atas sebagai wasiat-Nya maka secara otomatis itu pun menjadi wasiat nabi-Nya (lihat Al-Mulakhash fi Syarhi Kitab At-Tauhid, hal. 20)

Bahaya Dosa Syirik

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah lalu meninggal dalam keadaan musyrik maka dia termasuk penghuni neraka secara pasti. Sebagaimana barangsiapa yang beriman kepada Allah (baca: bertauhid) dan meninggal dalam keadaan beriman (baca: tidak melakukan pembatal keislaman) maka dia termasuk penghuni surga, walaupun dia harus disiksa -terlebih dulu- di dalam neraka.” (lihat al-Kaba’ir cet. Dar al-‘Aqidah, hal. 11)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan siksaannya, ‘Seandainya kamu memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini apakah kamu mau menebus siksa dengannya?’. Dia menjawab, ‘Iya.’ Allah berfirman, ‘Sungguh Aku telah meminta kepadamu sesuatu yang lebih ringan daripada hal itu tatkala kamu masih berada di tulang sulbi Adam yaitu agar kamu tidak mempersekutukan-Ku, akan tetapi kamu tidak mau patuh (enggan) dan justru berbuat syirik.’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaadul Masir, hal. 1014)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)

Hakikat Jalan yang Lurus

Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa segala sesuatu yang melenceng dari ajaran agama Allah maka itu adalah jalan yang menyimpang. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus ini. Maka ikutilah ia. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain; karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (al-An’am : 153) (lihat Tafsir Surat al-Fatihah, hal. 81)

Yang dimaksud jalan yang lurus (shirathal mustaqim) itu adalah Islam. Islam inilah yang akan mengantarkan manusia menuju Allah. Agama Islam inilah jalan yang mudah dan tidak mengandung kesempitan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu kesempitan.” (al-Hajj : 78) (lihat Tafsir Surat al-Fatihah, hal. 82)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran shirathal mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul ‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau (Abu Bakar dan Umar).” ‘Ashim berkata, “Kami pun menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139)

Jalan yang lurus inilah yang telah ditempuh oleh ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Orang-orang yang telah memadukan di dalam drinya antara ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Mereka berilmu dan mengamalkan ilmunya (lihat Syarh ad-Durus al-Muhimmah oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 14)

Oleh sebab itu kemudian dijelaskan dalam lanjutan ayat dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai.” Mereka itu adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu orang-orang Yahudi. Dimana mereka telah mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Setiap orang yang meniti jalan kaum Yahudi dari kalangan umat ini -setiap orang yang mengenali kebenaran tetapi tidak mengamalkannya- maka dia berada di atas jalan kaum Yahudi -di atas jalan orang-orang yang dimurkai- karena dia telah mengenali kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya. Dia mengambil ilmu tetapi meninggalkan amal. Dan setiap orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya maka dia termasuk golongan orang-orang yang dimurkai (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8)

Jalan yang lurus ini ditegakkan di atas ilmu. Tidak cukup bermodalkan semangat untuk beramal apabila tidak disertai dengan landasan ilmu. Oleh sebab itu dalam lanjutan ayat Allah berfirman (yang artinya), “Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Mereka itu adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah namun tidak di atas jalan yang benar. Tidak berada di atas manhaj yang lurus. Tidak berlandaskan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Yaitu berada di atas kebid’ahan. Padahal setiap bid’ah itu adalah sesat. Hal ini sebagaimana keadaan yang ada pada kaum Nasrani dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka; yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah tetapi tidak di atas jalan yang benar dan tidak di atas manhaj yang lurus. Maka orang semacam itu adalah tersesat. Dia menyimpang dari jalan yang benar dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 8-9)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa dirinya telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104). Ayat tersebut dijelaskan oleh para ulama bersifat umum mencakup kaum Yahudi dan Nasrani bahkan juga kaum Khawarij dan siapa saja yang beribadah kepada Allah tidak di atas jalan yang benar dimana dia mengira bahwa dia berada di atas kebenaran dan menyangka bahwa amalnya pasti diterima padahal sesungguhnya dia telah keliru dan amalnya menjadi sia-sia (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, 5/201-202)

Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa menyimpang dari jalan yang lurus ini -baik dalam hal ilmu ataupun amalan- maka hal itu memiliki dampak yang sangat membahayakan. Akibat terburuknya adalah keluar dari jalan Islam dan terjerumus dalam syirik dan kekafiran. Oleh sebab itulah sangat wajar apabila kita diperintahkan untuk berdoa kepada Allah meminta petunjuk menuju jalan yang lurus ini di dalam setiap raka’at sholat kita. Karena begitu besarnya kebutuhan kita terhadap hidayah itu. Tanpa hidayah maka seorang hamba pasti celaka dan binasa.

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “…Kebutuhan hamba kepada hidayah ini lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu adalah bekal kehidupannya yang fana. Adapun hidayah menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi.” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 1/152)

Demikian sedikit catatan faidah yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-11/